Kenangan Seorang Santri Putri - Fitria Puji Lestari

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Tuesday, October 29, 2019

Kenangan Seorang Santri Putri

Hari itu hari Jumat, waktunya libur, baik di pesantren maupun di sekolah. Hari Jum'at, biasanya, setelah solat subuh dan mengaji subuh, kegiatan santri adalah ro'an. Ro'an sendiri artinya bersih-bersih bersama. Para santri bergotong royong membersihkan kamar dan lingkungan pesantren. Setelah ro'an, dilanjutkan sarapan, lalu istirahat. Leyeh-leyeh dan bercanda di kamar bersama teman, lalu tertidur.

Saat itu, baru pergantian dari minyak tanah ke kompor gas. Dulu, saat minyak tanah masih ada, untuk minum, biasanya santri dipiket untuk memasak air di kompor minyak tanah. Saat minyak tanah tidak ada, bingunglah santri. Untuk memasak air satu ember besar, yang cukup untuk minum satu pondok di kompor gas rasanya tidak memungkinkan. Akhirnya para santri berinisiatif meminum langsung air mentah dari mata air yang kebetulan ada di kawasan santri putra. Padahal secara aturan santri putri tidak boleh memasuki wilayah santri putra. Alhasil, santri putri biasanya, berdiri di kawasan wilayah santri putri, menjinjing ember kosong, dan bila ada santri putra yang terlihat dari kejauhan, kemudian melambaikan tangan. Cara ini biasanya berhasil untuk membuat santri putra menghampiri dan mengambilkan air.

Biasanya mengambil air perkamar dibuat bergantian. Hingga tibalah di siang hari Jum'at yang panas itu, Widia, seorang santri putri yang selalu bertingkah konyol dan suka melawak, mendapatkan giliran mengambil air untuk minum.

Ya, Widia memang gadis yang suka melawak dan membuat orang-orang tertawa. Namun, di sisi lain dia adalah gadis pemalu saat bertemu dengan lawan jenis. Iya selain dia mengerti cara menjaga Izzah, dia juga selalu merasa tidak pede saat bertemu dengan lawan jenis. Piket mengambil air, adalah hal tersulit baginya. Beberapa santri putri, bahkan yang terkesan pendiam di wilayah putri saja bisa melambaikan tangan ke santri putra, tapi serius dia merasa tidak bisa. Rasanya malu, rasanya takut, begitu perasaan Widia saat itu.

Hingga akhirnya, dia hanya menyimpan ember di tempat yang sekiranya terlihat oleh santri putra. Sedangkan dirinya, berjongkok di balik tembok bangunan yang tidak terlihat dari wilayah santri putra, meski dari sana ia bisa melihat dari kejauhan santri putra yang berlalu lalang. Siang itu, banyak juga santri putra yang berlalu lalang, dia bisa pastikan semua santri putra yang disana melihat ember yang tergeletak. Namun mereka tak mengacuhkannya, mungkin beberapa santri putra malas mengambilkannya, maklum hari ini sangat terik. Atau bisa jadi, karena mereka tak melihat orang yang melambaikan tangan.

Hampir saja Widia menyerah, meski hatinya masih sibuk berdoa dan berharap, semoga ada yang mau mengisikan embernya. Terkadang juga pikirannya melesat-lesat menyalahkan dirinya yang tidak bisa bergaul dengan lawan jenis, merasa dirinya memang bukan gadis yang cantik. Karena biasanya, jika santri putri yang berdiri dan melambai ke arah santri putra itu adalah santri yang terkenal cantik di kalangan santri putra, yang mau mengambilkan air pasti banyak. Di saat seperti itulah, tiba-tiba saja ada seorang santri putra seperti sedang berjalan ke arahnya. Meski begitu, Widia masih belum banyak berharap jika santri putra itu akan menghampirinya. "Bisa saja dia belok dan ke tempat yang lain, ahhh!" Gumam Widia mengeluh.

Lama kelamaan, santri putra itu jelas semakin berjalan mendekat ke arahnya. Widia seakan tak percaya, dia sangat bahagia. "Mau ambil air Teh?" Ucap santri putra tersebut, membuat dirinya gugup, dia bisa merasakan detak jantungnya yang kemudian berdetak tak beraturan. Akhirnya Widia hanya mampu mengangguk dengan wajah yang lupa disenyumkan.

Setelah si santri putra tersebut berlalu sambil menjinjing ember kosong, Widia merutuki dirinya. Mengapa tak bisa bicara, setidaknya bilang maaf merepotkan, terimakasih sebelumnya, atau paling sedikit tersenyum.

Dari kejauhan, dia melihat Si Santri Putra yang setelah hari itu diketahui bernama Ahmad dengan langkah yang tak terlalu cepat menjinjing ember berisi air ke arahnya. Jelas dia kelelahan, jaraknya lumayan jauh, embernya pun cukup besar.

Widia terenyuh, melihatnya dari kejauhan. Ada juga lelaki baik ternyata. Baik kepada semua wanita, bukan hanya wanita cantik maksudnya.

"Nuhun Kang!" Akhirnya kata itu bisa terucap juga dari mulutnya. Si santri putra itu pun mengangguk sembari meletakan ember yang berisi air di hadapannya. Kemudian dia pun berlalu meninggalkan Widia yang bergumam dalam hati "jazakumullohi Khoiron katsiron!"

Setelah kejadian itu, Widia diam-diam mencari tahu seluk-beluk mengenai Si Santri Putra baik hati itu. Dia mulai rajin mendengarkan gosip-gosip yang beredar di kalangan santri putri. Ya, meski santri putra dan putri secara wilayah dan kegiatan terpisah, namun beberapa nama santri putra terkadang bisa ramai dibicarakan. Bahkan yang mempunyai hubungan khusus pun ada, dengan surat menyurat yang dilakukan diam-diam. Mengapa bisa begitu, karena mencari celah untuk melanggar aturan itu pada dasarnya adalah kesukaan manusia bukan?

Setelah ikut gosip sana-sini, diketahuilah namanya Ahmad, dia seorang anak dari kiyai yang mempunyai pesantren juga di tempat asalnya. Dia cukup pintar, dan selalu hidup bersahaja. Dia disukai oleh seorang santri putri, yang selalu riweuh menyebut-nyebut namanya, mengaku jika dia sangat menyukai Kang Ahmad.

Bertahun-tahun setelah Widia keluar dari pesantren tempat dirinya menuntut ilmu dan menempa diri. Dia mengetahui Kang Ahmad menikah. Widia selalu mengagumi kepribadiannya yang bersahaja dan selalu menolong sesama.

No comments:

Post a Comment